Soal: Ustadz yang terhormat, saya ingin bertanya. Apa hukumnya aborsi dalam
pandangan Islam? Jika boleh, saat kapan kita bisa melakukan aborsi? Soalnya ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa sejak sel sperma ketemu dengan ovum (sel
telur), hukum aborsi haram. Tetapi ada sebagian orang yang mengatakan bahwa
sebelum 40 hari, hukum aborsi mubah. Yang mana yang benar? Mohon penjelasannya.
Jawab:
Pendahuluan
Pertama-tama harus dideklarasikan
bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan
juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak
diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi,
dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya.
Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control
(FCDC) dan Alan Guttmacher Institute
(AGI), telah mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang
dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika — yaitu hampir 2 juta jiwa — lebih banyak
dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam sejarah
negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat dari
tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246 jiwa,
Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War (Perang Sipil) 498.332
jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah kematian karena aborsi jauh
melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabungkan
sekaligus (www.genetik2000.com).
Data tersebut ternyata sejalan
dengan data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika (62 %)
berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-sah saja
dilakukan. Mereka beralasan toh
orang lain melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya (James
Patterson dan Peter Kim, 1991, The Day
America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995,
hal. 19).
Bagaimana di Indonesia? Di negeri
yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang sekali ada gejala-gejala
memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi jumlahnya juga cukup
signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara
akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali
jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di rumah sakit. Akan tetapi,
berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang
terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh
setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu (Aborsi.net). Pada 9 Mei
2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (waktu itu) Dra. Hj. Khofifah Indar
Parawansa dalam Seminar “Upaya Cegah Tangkal terhadap Kekerasan Seksual Pada
Anak Perempuan” yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim di FISIP
Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, “Angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend
meningkat.” (www.indokini.com). Ginekolog dan Konsultan Seks, dr. Boyke
Dian Nugraha, dalam seminar “Pendidikan Seks bagi Mahasiswa” di Universitas
Nasional Jakarta, akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap tahun terjadi
750.000 sampai 1,5 juta aborsi di Indonesia (www.suarapembaruan.com).
Dan ternyata pula, data tersebut
selaras dengan data-data pergaulan bebas di Indonesia yang mencerminkan
dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik. Mengutip hasil survei yang
dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu
Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan
Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 %
remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif
menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja
berusia sekitar 13 hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah
wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di
Jakarta Selatan (www.kompas.com).
Berdasarkan hal ini, dapat
disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial yang terkait dengan
paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham
sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Terlepas dari masalah ini, hukum
aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik
kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi seorang muslim,
hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain
itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang
muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di
antara mereka.” (Qs. an-Nisaa`
[4]: 65).
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan,
jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Qs. al-Ahzab [33]: 36).
Sekilas
Fakta Aborsi
Aborsi secara umum adalah
berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah
kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999)
(www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai
berikut: “Pengakhiran kehamilan
sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.”
Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi
merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan
untuk bertumbuh (Kapita Seleksi
Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).
Dalam dunia kedokteran dikenal 3
macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum
1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum
Aborsi spontan/ alamiah berlangsung
tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel
telur dan sel sperma.
Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus
Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini
dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / Abortus
Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan
atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang
dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini
semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa
(www.genetik2000.com).
Pelaksanaan aborsi adalah sebagai
berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin
lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di
kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar
kecilnya janinnya.
1. Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan
dengan MR/ Menstrual Regulation
yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali
lebih kuat).
2. Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3. Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab
itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan
cairan garam yang pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung
disuntikkan ke dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan,
kulitnya terbakar, lalu mati.
4. Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan
prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan
untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
5. Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan
yang biasa (www.genetik2000.com).
Dengan berbagai alasan seseorang
melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan
non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir,
sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan
adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib
keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan
kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan
keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan
dan geliatan anak dalam kandungannya.
Alasan-alasan seperti ini juga
diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa
membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan
ini tidak berdasar.
Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya
menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita,
yang hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com).
yang hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com).
Data ini juga didukung oleh studi
dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa
hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah),
3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh
dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena
alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak
mampu membiayai, takut dikucilkan, malu, atau gengsi (www.genetik2000.com).
Aborsi
Menurut Hukum Islam
Dr.
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah
Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan
sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah
ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua
ulama ahli fiqih (fuqoha)
sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi
dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya
mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum
peniupan ruh, antara lain Muhammad
Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada
makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena
janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum
peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar
(w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali
dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar
Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur)
maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa
yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan
makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa,
dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan
sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk
Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al
Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab
Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah
Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu
bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan),
didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan
masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah
bersabda:
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama
40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula,
kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh
kepadanya.” [HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah
kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang
sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya
antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami
akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa
apakah ia dibunuh.” (Qs.
at-Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka
aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan,
sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan
pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan
berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat
dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih
(kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh)
hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat
permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama
dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan
pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh
(ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem
Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi
Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman
45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi,
1998, Emansipasi
Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa
aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw
berikut:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka
Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut;
dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia
(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian
memberi keputusan…” [HR. Muslim
dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw
bersabda:
“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”
Hadits di atas menunjukkan bahwa
permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah
sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya
adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda
sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan
pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka
pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan
ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang
melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan
tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu
seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia
sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih
dalam masalah tersebut. Rasulullah Saw bersabda :
“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang
perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu
seorang budak laki-laki atau perempuan…” [HR. Bukhari dan Muslim,
dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim
Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang
usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada
dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai
pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah
sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang
tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan
tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan
mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel
telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel
telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah Saw telah membolehkan
‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya
menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak
perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya:
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
Namun demikian, dibolehkan melakukan
aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya,
jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu
akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti
ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa
ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam,
sesuai firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .
Di samping itu aborsi dalam kondisi
seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah
memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia
ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini
menyebutkan:
“Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha
dhararan birtikabi akhaffihima”
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih
yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul
Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah,
halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang
wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan
mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang
mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang
ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak
lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada
menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan
keberadaan janin tersebut (Dr.
Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa
aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan
karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat.
Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya
wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel
sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski
kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al
hayah) menurut Ghanim Abduh
dalam kitabnya Naqdh
Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.”
(asy syai` al qa`im fi al ka`in al
hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak,
iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan
pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik,
belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma
dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan
sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma
sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya
ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka
pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma
dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak
didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara
implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel
sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal
faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya
segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk
‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya
kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum
bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain,
pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma
dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits
yang membolehkan ‘azl.
Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis
atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia
mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara
komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap
taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi
peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan
dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum aborsi dalam pandangan Islam
menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni
sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para
ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut
pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah
40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada
saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran
kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan
tidak apa-apa. Wallahu a’lam
[M. Shiddiq al-Jawi]
Referensi
Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al
Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp
Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998,
Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta
Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi`
Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta
Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah
Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah
Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta
Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab
Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya
Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa
Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,
Al-Izzah, Bangil
Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta